Kolaborasi Menulis Buku PUSMAJA Mbojo-Yogyakarta

Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta insya Allah akan menerbitkan Buku hasil kolaborasi menulis buku (yang ditulis oleh Keluarga besar PUSMAJA) dengan tema “Mengkaji Bima-Dompu (Mbojo) dalam Berbagai Perspektif Keilmuan. Artinya buku ini merupakan naskah yang ditulis dengan perspektif keilmuan masing-masing dalam memandang Mbojo. Terdiri dari perspektif Hukum, Pendidikan, Ekonomi, Budaya, Agama, dan lain-lain.

Batas pengiriman naskah yaitu sampai 24 April 2023 (kirim via email pusmajambojojogja@gmail.com). Untuk menghindari/meminimalisir Plagiarisme, harap perhatikan ketentuan dibawah ini.

 

KETENTUAN

 

Naskah yang dikirim ke email pusmajambojojogja@gmail.comakan dipertimbangkan pemuatannya apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1.    Bersifat orisinil (karya sendiri), berupa kajian atas masalah-masalah Mbojo terkait hukum, Sosial, Budaya, Ekonomi, Pendidikan dan yang lainnya yang berkembang di tengah masyarakat, atau gagasan-gagasan orisinal lainnya.

2.    Batang tubuh artikel bebas (Boleh juga memuat pendahuluan, Pembahasan, Penutup, dan Daftar Pustaka, namun tidak diwajibkan).

3.    Tata Tulis, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

a.    Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia.

b.    Naskah ditulis dengan Microsoft Word, jenis huruf Times New Roman, font size 12, spasi 1,5 cm pada kertas A4, panjang naskah minimal 10.

c.    Untuk meminimalisir Plagiarisme, Penulisan kutipan harus menggunakan model catatan kaki (footnote). Perhatikan keterangan dibawah ini:

1)   Cara penulisan catatan kaki seperti pada cara penulisan daftar pustaka, tetapi nama pengarang tidak dibalik penulisannya. selain itu, pada penulisan catatan kaki harus diberikan nomor halaman yang dijadikan acuan atau kutipan dan penulisan halaman disingkat hlm.

2)   Jika buku atau tulisan yang dijadikan acuan sudah pernah ditulis dalam halaman sebelumnya secara lengkap, maka diharuskan penyingkatan dalam catatan kaki dengan menggunakan istilah Ibid (ibidem = dalam halaman yang sama), Op.cit (opera citato = dalam keterangan yang yang telah disebut) atau Loc.cit (loco citato = dikutip dari sumber yang sama yang telah disebut). 

3)   Ibid digunakan dalam catatan kaki apabila kutipan diambil dari kutipan yang sama dan belum disela oleh sumber lain. Op.cit digunakan dalam catatan kaki untuk menunjuk kepada sumber yang sudah disebut sebelumnya secara lengkap, tetapi telah disela dengan sumber lain dan halamannya berbeda. Loc.cit digunakan dalam catatan kaki apabila hendak menunjuk kepada halaman yang sama dari sumber yang sama yang sudah disebut terakhir, tetapi telah disela oleh sumber yang lain.

4)   Ibid, op.cit Loc.cit hendaknya ditulis dengan huruf miring. Penggunaan Ibid tidak perlu menyebut nama pengarang namun cukup menyebut halaman yang dirujuk, penggunaan loc.cit cukup menyebut pengarang diikuti loc.cit dan tidak perlu menyebut nomor halaman, sedang penggunaan op.cit disebutkan nama pengarang dan halaman yang dirujuk.

d.   Penulisan Daftar Pustaka disusun secara alfabetis. Perhatikan dibawah ini:

1)   Buku: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), tahun terbit, judul buku (cetak miring), jilid, terbitan ke, nama penerbit, dan kota.

Contoh: Salahuddin, Siti Maryam R., 2004, Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima, Lengge, Mataram.

2)   Makalah: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama forumnya / seminar (cetak miring), tempat, tanggal, dan tahun.

Contoh: Supriatman, Yan Yanz, “Sejarah Islam Dana Mbojo”, Kajian Rutin Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta, Asrama Mahasiswa Sultan Abdul Kahir Bima-Yogyakarta, 10 Maret 2016.

3)   Artikel Suatu Jurnal: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul artikel (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal (dicetak miring), volume, nomor, bulan, dan tahun.

Contoh: Jamil, M., "Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Polresta Yogyakarta Tahun 2011-2013)", Panggung Hukum (Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), Vol. 2, No. 1, Januari, 2016.

4)   Tulisan dalam Buku: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul tulisan (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama editor (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), penerbit, tempat penerbitan.

Contoh: Gayatri, Irine Wiraswari, “Memahami Elite dalam Paradoks Demokrasi Lokal”, Satriani, Septi, 2014, Dinamika Peran Elite Lokal dalam Pilkada Bima 2010, Andi Ofset, Yogyakarta.

5)   Internet: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul tulisan (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), website, tanggal diakses.

Contoh: Iskandar, “Peran Pustakawan dalam Meningkatkan Minat Baca Masyrakat: Mengurai Harapan di Balik Kenyataan”, www.pusmajambojojogja.or.id, diakses tanggal 3 Agustus 2016.

6)   Buletin, Majalah, Tabloid, dan Koran: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul tulisan (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat (dicetak miring), tanggal / waktu terbit.

Contoh: Salim, Agus, “Melirik Sejarah Masuknya Islam di Kesultanan Bima”, Majalah Nusantara, Januari-Februari 2015.

7)   Skripsi, Tesis dan Disertasi: nama penulis (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul tulisan (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat (dicetak miring), penerbit, tempat terbit, tahun terbit.

Contoh: Ashadi, “Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Perkantoran Pemerintah Terkait Bidang Kesehatan”, Tesis, Magister Hukum Kesehatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016

 

Demikian Informasi tentang agenda penulisan buku ini, akhir kata "Selamat Menulis dan Selamat Berkarya  Untuk Tanah Leluhur Mbojo.


Informasi lebih lanjut hubungi:

- 082359284340: Bun Hermin (Direktur PUSMAJA)

- 087732883320: Ahlan (PJ)

082340620849: Jailani (PJ) 

Pelatihan Pemuda Pelopor, Radikalisme dan Ustadz Instan

Suasana saat Pelatihan Pemuda Pelopor. 
Yogyakarta, PEWARTAnews.com -- Fenomena keagamaan yang terjadi di bangsa kita akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Sebab di era milenial dewasa ini, semua orang dengan kemudahan akses tekhnologi yang begitu canggih. Siapapun mudah mengakses informasi dari internet. Baik itu informasi tentang berita, belajar agama, kumpulan ceramah agama pun dengan mudah kita dapatkan.

Dalam momentum acara Pelatihan Pemuda Pelopor yang diselenggarakan secara nasional oleh Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Kebangkitan Santri (Gerbang Santri) dengan menggandeng Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (KEMENPORA RI) mengangkat tema "Membangun Kepemimpinan dan Patriotisme Pemuda dalam Menangkal Radikalisme".

Acara ini di gelar secara nasional hampir  seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Acara yang sama juga diselenggarakan di Masjid Rodhatul Huda, Celeban, Umbulharjo, Kota Yogyakarta pada tanggal 11 Desember 2017, jam 19.30 - selesai.

Panitia lokal dalam acara ini adalah Persatuan Remaja Masjid Jogjakarta (PRMJ), menggandeng Takmir Masjid Roudhatul Huda Celeban dan Remaja Masjidnya.

Dari Pelatihan Pemuda Pelopor ini ada hal yang menarik yang Penulis tangkap dari pemarapan pemateri tentang radikalisme. Radikalisme ini selalu menyasar rata-rata di kalangan anak muda untuk di rekrutnya. Karena pemuda dipandang strategis untuk memasifkan paham tersebut, dan biasanya hal semacam ini hanya terjadi di kota-kota.

Koordinator Nasional Densus 26 Nahdlatul Ulama Umaruddin Masdar yang tampil sebagai salahsatu pemateri dalam acara ini menyampaikan banyak hal yang berkaitan dengan radikalisme dan hal-hal penting lainnya. Dibawah ini akan coba Penulis uraikan ulang yang disampaikan kang Umar (sapaan akrab Umaruddin Masdar), sebagai berikut.

 Pertama, mereka (orang-orang) yang langsung belajar Al-Quran dan hadits dengan terjemahannya tanpa mempelajari tentang ilmu yang lainnya seperti ilmu hadits dan harus ada bimbingan dari guru yang jelas untuk menjelaskan tentang Qur'an dan hadits tersebut, supaya pemahaman kita terhadap teks tidak dangkal dalam menangkap makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Kedua, belajar agama secara instan akan membuat sesorang atau kelompok itu mudah menghalal dan mengharamkan sesuatu, mudah mengkafirkan, mencaci dan membenci yang lainnya. Ini di ibaratkan seperti sebuah pernikahan kalau hanya sekedar bertemu di medsos atau baru (belum lama kenalnya), kebanyakan akan cepat berpisah pula. Sebab segala sesuatu yang instan itu efeknya lebih berbahaya. Seperti halnya mie instan ketika kita makan terlalu banyak aka membuat kita sakit.

Ketiga, dalam memahami agama tidak cukup dengan terjemahankannya tanpa kita mempelajari bahasa arab dan tata makna bahasa arab lainnya. Kita akan mempunyai pemahaman yang dangkal dan tidak bisa menunjukkan bahwa islam itu adalah agama yang damai, agama yang suci dan mampu merangkul semua manusia. Bukan kah di mata Tuhan yang membedakan manusia adalah takwa dan tidaknya. Ini ketika kita melihat yang terjadi dewasa ini, seperti halnya jauh panggang dari api.

Ulama-ulama besar dulu, kalau belajar agama bertahun-tahun, dan langsung di bimbing oleh kyai-nya. Nah, berbeda kondisinya dengan sekarang, dewasa ini orang dengan mudahnya mendapatkan gelar ustadz dan bisa memberikan ceramah kepada jamaah, padahal dia belajar dimana? Berguru sama siapa? Kok tiba-tiba jadi ustadz dadakan bermodalkan peci dan sorban cukup untuk menjadi ustadz.

Apa yang digambarkan diatas, tidak jarang terjadi pada dewasa ini, adanya caci maki dan ujaran kebencian. Sebagai muslim, seharusnya tidak demikian, seharusnya kita terus menyuarakan kedamaian dan keteduhan dalam bertutur kata. Sikap demikian, mungkin akibat kedangkalan berpikirnya. Sehingga tidak paham apa agama Islam yang seutuhnya. Seharusnya dalam berdakwah kita harus mampu memberikan kesejukan dan kedamaian kepada siapa pun, termasuk yang bukan agama Islam. Padahal kalau kita melihat kembali bagaimana cara berdakwah Rasulullah SAW yang begitu luar biasa, jangan kan sesama muslim, non muslim pun akan dia do'a kan yang baik. Seperti yang di uraikan oleh ustadz Usman, dalam sebuah kisahnya Rasulullah SAW ketika berdakwah sering di jahili oleh Abu Lahab dan suruhannya, terkadang di ludahi dan dicerca berbagaimacam penghinaan lainnya, tapi tindakan Rasulullah malah mendoakan yang baik-baik untuk Abu Lahab.  Rasulullah menganggap, biar pun Abu Lahab tidak mau masuk Islam, setidaknya ada anak cucunya nanti yang masuk Islam. Pada akhirnya, ketika Abu Lahab meninggal dunia, ada anaknya yang ahli perawi hadits. Begitu mulianya cara berdakwah Rasulullah.

Sebagai seorang muslim yang baik, kita harus mensyukuri nikmat Tuhan yang telah menganugerahkan Negeri Indonesia tercinta ini dengan semua kekayaan alam dan juga manusianya. Mari kita cintai sepenuh hati bangsa dan Negara ini, kita tebarkan kedamaian yang hakiki.

Adanya kegiatan Pelatihan Pemuda Pelopor ini juga disambut baik oleh Ketua Umum Persatuan Remaja Masjid Jogjakarta (PRMJ) M. Jamil, S.H., ia mengatakan adanya kegiatan ini bisa menjadi salahsatu benteng pemuda biar tidak gampang terpengaruh oleh paham-paham radikalisme.

"Acara ini sangat baik kita sambut untuk remaja masjid dan pemuda, karena di usia muda sangan rawan dimasuki beragam pemahaman, sebelum terjangkiti paham radikal, perlu pemurnian pemaknaan dalam memahami Islam, agar pemuda tidak memaknai islam secara sempit. Karena sejatinya Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Sebagai pemuda, mari kita jaga bersama kemurnian kita dalam memaknai Islam, dan juga kita jaga bersama bangsa dan negara ini dari penyebaran paham radikalisme," ucap M. Jamil yang juga sebagai Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM NU) Kota Yogyakarta.

Kegiatan tersebut, selain dihadiri 50 peserta, turut dihadiri juga oleh Ketua Karang Taruna Kota Yogyakarta Solikhul Hadi, Ketua Pengurus Cabang LESBUMI NU Kota Yogyakarta Ricco Survival Yubaidi, Ketua Remaja Masjid Celeban M. Tholib, Wartawan Senior Rochmad, dan Pengurus Cabang Fatayat NU Kota Yogyakarta  Saniyatun.


Penulis: Hairul Rizal, S.H.
Pengurus LKBH Nahdlatul Ulama Kota Yogyakarta / Salahsatu Peserta Pelatihan Pemuda Pelopor


Legenda Dae La Minga akan Ditampilkan dalam Acara Selendang Sutera 2017, Mari Saksikan Bersama!

Informasi Acara.
Yogyakarta, pusmajambojojogja.or.id -- Selendang Sutera merupakan sebuah acara pertunjukan beragam kesenian Budaya dari berbagai daerah mulai dari sabang sampai merauke salah satunya di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya Bima. Acara ini di persembahkan oleh Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia (IKPMDI) Yogyakarta. Dalam Acara ini, Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa NTB mempertunjukan salah satu cerita Rakyat yaitu tentang Legenda Dae La Minga yang akan di tampilkan pada (12/11/2017) besok pukul 20.00 WIB di XT Square Yogyakarta.

“Besok IKPM NTB akan menampilkan sebuah drama ataupun Tari dari daerah Bima, yang dimana pentas ini merupakan salah satu kontribusi mahasiswa Bima pada wilayah tradisi dan kebudayaan. Walaupun pentas ini untuk memenuhi undangan dinas kebudayaan DIY lewat IKPMDI Yogyakarta, dan IKPMDI Yogyakarta mengkomunikasikan dengan IKPM dari berbagai dari 34 provinsi. IKPM NTB yang diwakili oleh KEPMA Bima-Yogyakarta. Sanggar Seni dan Tradisi Rimpu ini Menampilkan tarian Legenda Dae La Minga yang di mana dalam cerita Dae La Minga ini di dalamnya terdapat tarian-tarian juga antara lain Tari wura bongi monca (Tarian Selamat Datang), Tari Dae La Minga dan Mpa’a Gantao (Silat Bima). Dengan adanya acara ini semoga kedepannya acara ini bisa di laksanakan oleh kita sendiri tentunya dengan dukungan dari semua elemen masyarakat, terutama pemerintah daerah Bima dan NTB maupun oleh para pemuda-pemuda yang peduli dengan tradisi dan Budayanya.” kata Agus Salim selaku Ketua Umum KEPMA Bima-Yogyakarta/IKPM NTB.   

Adapun sekilas Cerita tentang Legenda Dae Laminga ini yaitu di sebuah desa terdapat sebuah kerajaan bernama kerajaan Sanggar yang di pimpin oleh Ruma Sangaji, dan Ruma Sangaji mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik jelita bernama Dae La minga. Disuatu hari kesultanan sanggar menyelenggarakan sebuah pesta yang di hadiri oleh seluruh warga sanggar dan tamu-tamu kerajaan. Adapun dua tamu kerajaan atau pangeran kerajaan  yang hadir pada pesta itu antara lain pangeran-pengeran dari kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Dari kedua Pangeran kerajaan ini ingin mempersuntik Dae Minga dan mereka pun berselisih, melihat suasanya seperti itu Dae la Minga memilih untuk mengasingkan diri ke moti la Halo, sebelum di asingkan ke moti la Halo, Dae Minga melakukan tarian perpisahan bersama dayang-dayangnya, sehabis tarian itu Dae Minga mininggalkan sumpah. Adapun inti dari sumpah itu, Al Imanuddin menyebutkan, “Wahai seluruh warga sanggar, biarlah aku yang mengalami nasib seperti ini jangan lagi kalian, pesona dan kecantikan akan ku bawa semua, jika hanya untuk mengundang kerusuhan buanglah saya ke moti la Halo.” kata Al Imanuddin sekalu koordinator cerita legenda Dae La Minga saat memperagakan ulang kisah tersebut.

Mari kita sama-sama dukung pelestarian kebudayaan dan kesenian daerah di seluruh nusantara, salahsatu caranya dengan ikut meriahkan, datang menonton dan memberikan semangat, yuk besok kita rame-rame bergegas menonton pertunjukannya.


Penulis: Siti Hawa
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta / Pemudi asal Bima NTB.

Pengaruh Bencana Terhadap Kondisi Psikologis Korban

Jul “Lembo Ade”.
www.pusmajambojojogja.or.id – Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana, baik itu banjir bandang, gempa bumi, letusan gunung berapi dan lain-lain. Setelah pasca banjir bandang yang melanda Kota Bima pada tanggal 21 sampai 23 Desember 2016 lalu, menyimpan sejuta suka dan duka yang amat dalam pada hati dan jiwa seluruh stake holder.

Lalu kemudian, ketika terjadi bencana alam yang cukup besar, maka berbagai persepsi muncul. Persepsi tersebut dapat dilakukan oleh korban bencana alam, dan dari pihak lain yang tidak mengalaminya. Persepsi masyarakat tentang bencana alam dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama efek krisis, kedua efek bendungan, dan ketiga adaptasi. Kondisi masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan adalah memprihatinkan. Masyarakat yang kurang memiliki kesadaran pada lingkungan, (termasuk masyarakat sosial/pemerintah), maka dinamika yang terjadi di masyarakat adalah kurang adanya keeratan (cohessiveness) di antara anggota masyarakat. Keadaan demikian mengindikasikan bahwa masyarakat tersebut sangatlah rentan ketika menghadapi bencana yang menimpa dirinya. Melihat kondisi yang demikian, dengan kata lain pada masyarakat tersebut tidak memiliki kelenturan (resilience) dalam menghadapi bencana. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana kondisi psikologis korban banjir (bencana alam) tersebut?

Pertanyaan tersebut melahirkan berbagai persepsi dan jawaban yang ideal dan objektif. Kondisi psikologis korban bencana alam/banjir yang selamat, pada umumnya akan mengalami stres. Rasa takut yang amat sangat dialami oleh korban, karena mereka merasa terancam jiwanya dari bencana. Mereka mengalami perasaan yang tidak menentu, ketakutan, cemas, dan emosi yang tinggi. Sehingga perasaan stres muncul. Namun demikian mereka jarang mengalami gangguan stres yang kronis. Tetapi kondisi demikian, harus diatasi dengan segera. Apabila kondisi psikologis yang stres tidak segera diatasi, maka lama kelamaan akan menimbulkan depresi, dan akan mengarah kepada gangguan psikiatri.

Beban psikologis akan semakin bertambah bagi korban bencana banjir, apabila ia mengalami kehilangan orang yang dicintai ketika bencana terjadi. Kondisi stres dapat muncul pada korban bencana banjir, demikian pula dengan kehilangan rumahnya akan menambah beban psikologisnya. Korban tersebut akan merasa kehilangan segalahnya, sehingga didalam dirinya muncul suatu kehilangan harapan. Kondisi demikian perlu segera ditangani agar korban dapat bangkit dari rasa keterpurukan.

Pada korban yang dapat bertahan dari bencana besar, dia melihat bahwa banyak orang yang dikenalnya menjadi korban, maka ia merasa kehilangan komunitasnya. Hal ini dikarenakan komunitas di pemukimannya sudah tidak utuh lagi. Bahkan ketika ia diselamatkan oleh tim penyelamat, ia mengalami disorentasi. Korban yang selamat, ketika terselamatkan dia tidak tahu berada dimana, dan mengapa hingga berada di temapat tersebut. Korban tidak mengenal lagi dengan lingkungannya, dengan berada di tempat pengungsian yang baru, ia mengalami kurang kontak sosial dengan korban lain di tempat pengungsian yang baru. Ditempat pengungsian tersebut, komunitas lain, sehingga ia merasa sendiri. Kondisi demikian dapat terjadi, karena setelah terjadinya bencana, masing-masing individu menyelamatkan diri sendiri dan kelompok keluarganya, sehingga terpencar dari komunitasnya.

Korban bencana pada dasarnya tidak mengenal usia, sehingga semua usia dimungkinkan menjadi korban bencana alam, namun demikian kita perlu mengenal kondisi-kondis psikologis yang di alami oleh seseorang pada tahap perkembanganya. Dengan demikian, bantuan psikologis yang diperlukan menjadi jelas. Bantuan psikologis yang kurang tetap akan menambah parah kondisi psikologis korban, dengan gambaran identifikasi tersebut, bisa diketahui kebutuhan korban.

Korban Anak usia Bawah Lima Tahun (Pra sekolah)
Korban pada usia dibawah lima tahun (belita), tentu belum memahami apa yang telah terjadi dan menimpa dirinya. Namun demikian, ia dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi di lingkungannya, dan mungkin dapat dirasakan menyakitkan atau sebagai sesuatu yang menakutkan, mengagetkan, dan sebagainya. Reaksi yang akan muncul pada belita tersebut adalah menangis.

Korban Anak Usia Sekolah (6-12 tahun)
Anak usia sekolah yang menjadi korban bencana dana mengalami masalah psikologis, akan mengindikasikan di sekolahnya dengan penurunan prestasi sekolahnuya. Maslah psikologis yang dirasakan berat, seperti misalnya stres, anak tersebut akan mengalami gangguan konsentrasi. Hal ini dikarenakan secara emosi, ia belum dapat mengendalikan dengan baik, seehingga ia akan mudah marah. Bahkan pada kondisi tersebut dapat berakibat pada penurunan prestasi sekolahnya.

Korban Usia Remaja (12-21 tahun)
Pada remaja korban bencana banjir yang mengalami masalah psikologis, didalam bidang pendidikan menunjukan adanya penurunan prestasi di sekolah. Hal ini dimungkinkan oleh karena permasalahan yang terkait dengan bencana yang dirasakan sebagai permasalahan yang berat, menekan, hingga menjadi ia mengalami stres.

Korban Orang Dewasa  
Orang dewasa yang menjadi korban bencana, dapat mengalami masalah psikologis yang cukup berat. Berat atau ringannya masalah psikologis yang dialaminya sangat bergantung pada pengalaman yang di alami ketika bencana terjadi menimpa dirinya dan keluarga sangatlah berat, seperti meninggalnya anggota keluarga atau kehilangan rumahnya, maka pengalaman ini dirasakan berat oleh orang dewasa tersebut. Peristiwa ini dapat menyebabkan ia sulit untuk berkonsentrasi dalam upaya untuk menyelesaikan masalahnya.

MARI KITA SAMA-SAMA MENJAGA KELESTARIAN ALAM DAN LINGKUNGAN KOTA BIMA DAN SEKITARNYA.


Penulis: Jul “Lembo Ade” 
Anggota  Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta. Hubungi via Email: julpsikologi@gmail.com

Melirik Keindahan Tanah Wera

Andri Ardiansyah, S.Pd.I. 
www.pusmajambojojogja.or.id – Wera adalah salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Bima (NTB), berada dari kejauhan Kota Bima kira-kira 55,2 Km dari Kota Bima. Letaknya di timur bagian utara wilayah Kabupaten Bima. Tanah Wera memiliki banyak cerita dan sejarah yang belum banyak orang tahu, baik cerita tentang tempat wisatanya maupun cerita tentang sejarah geografisnya. Orang-orang Kota Bima menyebut orang-orang Wera itu adalah orang-orang atas (ese Wera), karena letak geografisnya memang jauh dari Kota Bima dan berada diatas ketinggian gunung, sehingga ketika orang-orang Wera bepergian ke Kota Bima, orang-orang Wera menyebutnya pergi ke bawah (lao awa Mbojo).

Tanah Wera memang sudah mulai dikenal oleh kebanyakan masyarakat Bima baik dari segi keindahan pariwisata, pemandangan daratannya, maupun keindahan lautnya, sebut saja Wera memiliki pantai-pantai yang indah dan segar dipandang mata, juga tentunya sejuk di dalam hati ketika merenungkan keindahannya, mulai dari pantai Nangawera (Banta ra Ntundu lao di na kae. hehehe) hingga pantai Oi Caba (Air Tawar) atau biasa dikenal oleh masyarakat luas yaitu Pulau Ular. Sepanjang pantai Nangawera ini, biasanya orang-orang  yang dari Wera mau ke Kota Bima atau sebaliknya, mereka menyempatkan diri untuk singgah dulu di pantai tersebut, sekedar untuk menghilangkan rasa lelah karena menuju perjalanan panjang mengingat perjalanan dari Wera ke Kota Bima cukup menguras tenaga dan menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan.

Di pantai-pantai ini juga kebanyakan masyarakat dari Kota Bima atau masyarakat dari kecamatan-kecamatan lain yang berdekatan dengan Kota Bima akan menghabiskan waktu liburannya. Jika memauki waktu libur seperti waktu pasca selesainya Iedul Fitri dan Iedul Adha, mereka biasanya berdatangan dengan mengendarai mobil maupun motor, dan tentunya mereka membawa anak-anak mereka sehingga bisa terlihat jelas para wisatawan ini meramaikan sepanjang pantai-pantai Nangawera tersebut.

Uniknya pantai-pantai di Wera ini tidak jauh dari jalan raya, pantai ini persis berada di samping jalan poros Wera-Kota Bima, sehingga orang yang melewatinya bisa leluasa melihat keindahanya baik di pagi hari maupun di sore hari, karena sejauh mata memandang laut Wera terlihat jernih nan indah, seolah kita tidak akan beranjak pergi ketika kita melihat keindahan wisata di tanah Wera ini. Dari sekitar pantai Wera juga kita bisa melihat Gunung Sangiang yang super besar dan cantik, kebanyakan para pengunjung dari luar Wera ingin sekali menginjakkan kakinya di Gunung Sangiang, sekedar melihat keindahannya, dan memang yang sangat besar dari mereka adalah mengobati rasa penasaran mereka selama ini, karena tidak semua masyarakat Bima pernah menginjakan kakinya di tempat ini (Gunung Sangiang).

Masyarakat Bima belum begitu banyak tahu tentang Gunung Sangiang, cerita-cerita yang biasa didengar oleh masyarakat Bima adalah tentang Api Sangiang (Afi Sangia), yang mana Api ini konon katanya bisa membakar rumah orang ketika orang tersebut berniat jahat kepada orang sangiang, dan cerita ini ada beberapa orang yang dari luar Wera pernah mengalaminya dan memang terbukti rumahnya terbakar lantaran orang tersebut berbuat jahat kepada salah satu masyarakat Sanginag di waktu itu. Cerita ini masih melekat pada benak masyarakat Bima. Sangiang banyak meninggalkan cerita dan sejarah edukatif yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran, oleh karena itu banyak para pengunjung yang datang ke tempat ini menggali dan mempelajari sejarah makrokosmos dan mikrokosmosnya yang ada di Gunung Sangiang.

Pulau Ular Wera, Bima, NTB. Foto: blog wowwunik.
Bagi para wisatawan dari luar Wera tidak sekedar datang menghabiskan liburanya di Wera tetapi lebih dari itu mereka ingin mengobati rasa penasarannya selama ini bahwa tanah Wera itu memang indah dan kaya akan tempat-tempat wisatanya yang berlian nan cantik di pandang mata. Sampai pada detik ini setiap moment liburan, pengunjung yang datang ke Wera makin banyak, baik di pantai Nangawera, Sangiang, hingga Pulau Ular. Tanah Wera memang unik dan kaya akan keindahannya, keunikan itu terbukti adanya Pulau Ular itu sendiri. Pulau ini berada di ujung timur Wera (Pai-Kalo), dinamakan Pulau Ular karena banyak sekali ular-ular yang menempati Pulau tersebut dan macam-macam warna dan coraknya, dan ular ular ini tidak berbisa (jinak) sehingga bisa dipegang dan sekedar menjadi mainan bagi para pengunjung, melihat keunikan ular-ular tersebut para pengunjung makin tambah jatuh hati dengan tempat wisata Wera, sehingga tidak heran bagi para pengunjung akan selalu mendatangi tempat-tempat wisata yang ada di Wera termasuk Pulau ular.

Keunikan Pulau ini memang tidak ada bandingannya dengan Pulau-pulau yang ada di daerah lain,

dan satu-satunya Pulau Ular yang ular-ularnya tidak berbisa yaitu ada di tanah Wera. Indonesia memang dijuluki Negara kepulauan, sehingga tidak heran bagi kita melihat pulau-pulau yang berjejeran dari Sabang sampai Merauke, Pulau-pulau memang banyak di negeri ini tapi cuma ada satu yang dijuluki Pulau Ular yaitu ada di tanah Wera, bahkan Pulau Ular ini cuma satu-satunya ada di dunia yang ular-ularnya jinak dan tidak berbisa, unik bukan?.

Catatan: 
Saya perkenalkan Tanah kelahiranku kepadamu wahai Dunia, Tanah itu bernama Sangiang Wera, tanah dimana kami di lahirkan dan dibesarkan, tanah dimana kami di didik menjadi manusai-manusia tangguh menghadapi suka dan dukanya kehidupan, tanah dimana kami di ajarkan untuk mencintai Wera, dan tanah dimana nanti kami akan dikuburkan bersama kenangan-kenangan manis yang telah diberikan oleh Wera.

Untuk mu wahai pemuda Bima dan lebih Khususnya Wera, mari kita bergandengan tangan untuk menjaga tanah kita, menjaga Bima dan Wera demi masadepan Wera kedepannya. Kita sudah memiliki segalanya, semua orang melirik ke tanah kita sebagai kiblat keindahan wisata, maka pupuklah alam kita demi masa depan Wera yang Berjaya.

Salam hormatku buatmu kawanku dimanapun kalian berada, dan salam hormatku bagi siapa saja yang membaca tulisan ku ini.


Penulis: Andri Ardiansyah, S.Pd.I.
Sang Putra Sangiang Wera / Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta / Anggota Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.

Peristiwa Banjir Bandang Bima, Terimaksih untuk Para Dermawan

Muh. Zulfiqri Syahmat S.IP.
www.pusmajambojojogja.or.id – Terimakasih dan terimakasih. Sungguh air mata akan terjatuh jika keharuan ini tak dapat saya tahan dengan hati yang tegar dan gembira. Terimaksih.

Ada banyak cerita dan sejarah yang di ukir di Kota Bima sana, sekumpulan keluarga kecil yang bahagia di dalam sebuah gubuk, bersenang-senang dengan candanya, tidak ada yang tahu rejeki akan datang, tidak ada yang tahu kematian akan datang, tidak ada yang tahu kapan jodoh akan datang dan tidak ada yang tahu musibah akan datang. Ya, banjir bandang Bima (Mbojo) tidak ada yang tahu dan menyangka akan jadi seperti hamparan air yang keruh, menyapu seluruh barang-barang dan bangunan semi permanen.

Terimakasih dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhanku yang menciptakan langit dan bumi serta seisinya, sungguh Engkau tidak Beranak  dan tidak diperanakkan. Sungguh cobaan yang Engkau berikan kepada masyatakat Bima adalah cobaan yang tidak ada kata bahwa cobaanmu melebihi kemampuan umatmu di Bima sana. Sungguh cobaanmu adalah sebuah kado teristimewa di akhir tahun 2016, penutup tahun yang begitu kau ridhoi hingga masyarakata Bima tahu bahwa kekuasaan-Mu itu adalah mutlak. Suatu cobaan yang mengguncangkan hati, pikiran dan jiwa sebagai sapaan bahwa masyarakat Bima untuk tetap beristikhoro dan intropeksi diri untuk selalu dan selalu bersyukur Kepada-Mu serta menjauhi larangan-Mu dan mematuhi Perintah-Mu. Terimakasih.

Terimakasih dan terimaksih untuk alamku di atas tanah-Mu-lah kami mendirikan bangunan, dia atas tanah-Mu-lah kami menumbuhkan bibit-bibit makanan dan buah-buahan kami, dan dengan air-Mu-lah kami hidup untuk kebutuhan sehari-hari kami. Engkau telah menunjukkan wujud kegelisahan-Mu dengan amarah banjir bandang-Mu. Terimakasih.

Terimakasih dan terimakasih untuk semua relawan yang mempunyai hati emas dan berlian yang bercahaya yang telah sedikit membantu, bahkan banyak bagi saya atas bantuannya untuk  masyarakat Bima yang terkena musibah atau cobaan yang begitu membuat masyarakat Bima beristigfar dengan cobaan banjir bandang ini. Terimakasih. Maaf karena Penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu nama atau lembaga yang terlibat dalam Aksi Sosial Peduli Banjir Bandang Bima, Nusa Tenggara Barat. Terimakasih.

Terimakasih dan terimakasih untuk Pemerintah Daerah dan Pusat atas semua bantuan yang telah diberikan kepada Masyarakat Bima. Engkau perwakilan masyarakatan Bima, engkau yang berdasi, engkau pemegang kekuasaan di atas tanah berasaskan peraturan. Engkau telah menunjukkan gayamu, menunjukkan dedikasihmu terhadapat masyatakat Bima. Terimakasih, yang mungkin tidak dapat saya sebutkan satu-persatu bahwa anda-anda sekalian adalah orang-orang hebat dan peduli kepada rakyat. Diluar dari hal dan niat politik kesuuzonan masyarakat saya ucapakan terimakasih. Terimakasih.

Inilah saya, hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya suarakan dan sampaikan dari tulisan penulis dari tanah yang katanya kaya akan budaya, kotanya para pelajar, kota gudeg berjuta keistimewaan dan kekreatifan yang diciptakan tiada habisnya. Suara dari putra mahkota Bima di pulau jawa yang dengan perasaan ikhlas ucapkan terimakasih.

Tidak dapat kami segenap masyarakat Bima membalas kembali dengan sebuah materi, hanya dengan do'a dan ucapan terimakasihlah yang dapat kami sampaikan. Semoga Allah membalas apa yang seharusnya di balas dan mengganti apa yang seharusnya di ganti.

Akhir kata dari Penulis, terimakasih dan terimakasih.


Penulis : Muh. Zulfiqri Syahmat S.IP.
Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MIP UMY) / Anggota Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.

Editor : Muhammad Habibullah Aminy, S.E.Sy., M.H.

Jogja dalam Perspektif Anak Timur

Andri Ardiansyah, S.Pd.I.
www.pusmajambojojogja.or.id – Berbicara tentang Yogyakarta, juga berbicara apa yang ada di dalamnya, Jogja (begitu sapaan untuk Yogyakarta), memiliki Ikon yang sangat kental, baik budaya maupun tradisinya, maka tidak heran budaya-budaya Jogja pun masih di emban baik oleh rakyat dan masyarakat Jogja. Salah satu contoh kecil budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jogja ialah Andong yang bersusun rapi di Malioboro. Andong-Andong itu beroperasi setiap hari di Malioboro, kadang penulis juga bertanya dalam kesendirian, betapa bisa dan mampunya masyarakat Jogja memupuk dan melestarikan budayanya sampai hari ini masih eksis dan masih menjadi lirikan jutaan orang yang datang ke Jogaja? Yang uniknya Andong ini memiliki bentuk yang berbeda dengan Andong-Andong di daerah lain, baik dari segi tempat duduknya maupun dari orang yang bawa (jukinya) semua terlihat berbeda dengan Andong dan orang yang bawanya di daerah-daerah lain. Jogja itu memang unik, terlihat jelas dari pengendara Andong memakai pakaian adat Jawa (ala Jogja-nya), dari blankon hingga celana batik yang memang budaya Jogja yang sudah lama di lestarikan. Tidak sedikit wisatawan yang terbius oleh keadaan Jogja, dimana semboyan Jogja juga adalah “Jogja Berhati Nyaman”, mampu memikat orang untuk salalu ingin ke Jogja bahkan kepingin tinggal di Jogja, dengan nyamannya tersebut seolah ada tarikan seperti makhnet yang mengajak dan terus untuk mencicipi dan merasakan sejuknya kota Jogja.

Keunikan Jogja tidak hanya di Andong saja, tapi masih banyak lagi keunikan lainya, salahsatu diantaranya yaitu becak, becak biasanya banyak berjejeran di pinggir Malioboro, yang dimana pemilik becak tersebut menawarkan kepada wisatawan untuk mengelilingi tiga tempat di sekitaran dan tidak jauh dari Malioboro dengan harga yang unik pula yaitu sebesar lima-sepuluh ribu rupiah, murah bukan?. Malioboro adalah tempat dimana ribuan orang berkumpul dan sekedar berbelanja setiap harinya, bahkan nyaris tidak di temukan hari yang sepi di Malioboro tanpa di penuhi oleh aktifitas orang-orang berbelanja dan aktifitas lainnya. Malioboro juga tempat dimana para ilmuan dan akademisi berbincang-bincang (berdiskusi) bersama di 0 KM, semuanya kompleks di tempat ini.

Saya sebagai anak Timur (BIMA-NTB) melihat dan memaknai Jogja adalah sangat realistis keberadaanya, karena mengingat Jogja dijuluki sebagai kota budaya memang patut di apresiasi, semuanya bernilai budaya dari hal yang kecil hingga hal yang besar seklipun, dari cara berkomunikasinya yang sangat lembut tuturkatanya sampai ke wilayah sosial yang sangat menghargai perbedaan suku dan ras, sehingga semua orang yang datang ke Jogja baik yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa maupun orang yang sekedar singgah berbelanja di Jogja merasa senang dan aman, seperti kita tidak bisa jauh dari Jogja walaupun kita sudah jauh dari Jogja seolah ada makhnet yang menarik kita untuk ingin kembali lagi ke Jogja.

Kota Gudeg Jogja, selain di juluki sebagai kota budaya, juga di juluki sebagai kota Pelajar,  begitu banyak para Pelajar dan Mahasiswa dari berbagai daerah dari luar Jogja yang datang ke Jogja untuk menuntut ilmu di kota berhati nyaman ini. Jogja sudah banyak menghasilkan orang-orang cerdas dan bahkan menghasilkan pemimpin negeri ini sekalipun sudah terbukti ia alumni Jogja, dengan begitu banyaknya orang-orang cerdas yang ada di Jogja, akan berpengaruh dalam dunia pendidikan, sehingga tidak heran meluapnya para mahasiswa datang menuntut ilmu di kota ini. Jogja sudah berhasil dalam memberi kontribusi untuk negeri ini, dari melahirkan orang-orang cerdas untuk memimpin negeri ini hingga mejaga alam negeri ini. Salah satu kontribusi kecilnya jogja untuk negeri ini yaitu memupuk baik alamnya, dimana Jogja bisa merubah dan memodifikasi dari alam yang tidak di pakai menjadi alam yang penuh warna dan maanfaat sebagai tempat wisata buat banyak orang tanpa merusak sedikitpun alam tersebut. Jogja sudah berhasil menyihir jutaan para wisatawan supaya datang ke temapat tersebut baik dalam Negeri maupun dari luar Negeri. Hampir setiap hari alam/tempat wisata yang ada di Jogja di penuhi oleh para wisatawan baik wisata laut maupun wisata gunungnya, dan harga tiket masuknya pun relatif murah, bisa di nikmati oleh semua kalangan, baik kalangan bawah juga kalangan atas.

Jogja memang unik untuk di perbincangkan dari segala segi, baik sejarahnya, budayanya, wisatanya, hingga pendidikannya semua kompleks di sini. Keunikan yang paling Penulis sukai yaitu Jogja memiliki raja yang dimana tidak terdapat di daerah-daerah lain, dan satu-satunya raja yang kepemimpinannya tidak digantikan oleh orang lain kecuali anak keturunannya sendiri. Bagi Penulis, ini adalah keunikan yang sangat edukatif yang belum pernah Penulis dapatkan di daerah manapun di Indonesia,  mengingat  rakyat Jogja juga menghoramti rajanya dan juga rajanya menghargai rakyatnya. Nilai edukatif yang dimiliki raja dan rakyatnya sangat sinkron dan sangat relevan dengan keadaan rakyatnya.

Berbicara tentang Jogja tidak ada habis-habinya untuk di perbincangkan, kedamaian, sifat toleransi, demokratis dan lain sebagainya ada disini yaitu di Jogja berhati nyaman. Nyaman berkomunikasi, nyaman bersosial, dan nyaman dalam segala hal. Semua yang berkaitan dengan kenyamanan tidak ada yang mampu tandingi dengan kenyamananya Jogja. Jogja berhati nyaman, dan Jogja tetap istimewa.


Penulis : Andri Ardiansyah, S.Pd.I.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta / Peneliti pada Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta.